Tuesday, May 12, 2009

RESENSI NOVEL ==>> Lady Chatterley's Lover (DH Lawrence)

Ruang Baca Koran Tempo | Minggu, 26 April 2009 | Oleh Hernadi Tanzil*

Inilah karya 
terakhir D.H. Law-rence, penulis Inggris, yang paling kontroversial. Lady 
Chat-terley’s Lover pernah dianggap sebagai novel cabul karena deskripsinya 
yang begitu gamblang mengenai persetubuhan terlarang antara dua insan yang 
berbeda status sosial. Tak heran jika novel yang diterbitkan secara pribadi oleh 
Lawrence pada 1928 di Florance, Italia, ini pernah dilarang beredar di Amerika, 
Inggris, India, dan beberapa negara lainnya.
Namun, 
pelarangan itu justru membuat novel ini menjadi terkenal dan semakin banyak 
dicari. Hal inilah yang memancing edisi bajakannya beredar luas. Awalnya di New 
York, menerobos London, kemudian menyebar ke berbagai negeri di Amerika dan 
Eropa.
Ada dugaan, 
novel ini dilarang di Inggris karena kaum bangsawan Inggris yang mapan tak
menyukainya. Maklum, Lawrence menceritakan pergaulan intim perempuan bangsawan 
dengan seorang dari kalangan bawah. Selain itu, novel ini juga berisi kritik 
sosial terhadap kehidupan kaum bangsawan.
Lebih dari 30 
tahun semenjak diterbitkan, novel ini dilarang beredar utuh di Inggris hingga 
akhirnya pada 1960 penerbit Penguin Books di Inggris nekad menerbitkannya secara 
utuh. Karenanya, Penguin harus berhadapan dengan hukum dan diadili di Pengadilan 
Old Bailey, London, selama enam hari pada 1960. Karena banyak saksi ahli yang 
mendukung novel ini, pengadilan pun resmi menilai dan memutuskan bahwa The 
Lady Chatterley’s bukanlah karya pornografis. Penguin memenangi perkara dan 
buku ini secara utuh boleh beredar di Inggris.
Novel ini 
mengisahkan kehidupan Connie Constance yang kemudian dikenal dengan Lady 
Chatterley setelah menikah dengan Clifford Chatterley, bangsawan pemilik tambang 
batu bara di Travershall, Inggris. Walau menikah dengan kalangan bangsawan dan 
hidup dalam kemewahan di rumah besarnya di Wragby, Connie tak bahagia, apalagi 
setelah suaminya menderita lumpuh permanen akibat perang.
Setelah 
kelumpuhan itu, Clifford menjadi pribadi yang terluka dan impoten. Ia harus
terus berada di atas kursi roda. Ia senantiasa sendirian dan seperti orang yang 
tersesat. Ia butuh Connie di sampingnya untuk meyakinkan dia tetap ada.
Walau mereka 
selalu berdekatan, kehangatan cinta mereka telah lenyap, tubuh mereka menjadi 
asing satu sama lain. Mereka begitu intim tanpa pernah bersentuhan. Connie
merasa tak mendapatkan kehangatan dari suaminya.
Setelah dua 
tahun di Wragby dan menjalani hidup pengabdian pada suaminya, Connie merasa 
terasing, kesepian, bosan, hampa. Tak adanya kehangatan dari suaminya membuat ia 
gelisah yang semakin hari semakin memuncak. Hutan di sekitar rumahnya menjadi 
tempat pelariannya. Di sanalah ia bertemu Oliver Mellors, penjaga hutan yang 
merupakan pegawai Clifford. Bersama Mellors akhirnya ia menemukan kehangatan dan 
keteduhan batin, sesuatu yang tak ia peroleh dari perkawinannya.
Connie 
terperangkap di antara dua pria. Pada Clifford ia tetap melaksanakan 
kewajibannya sebagai istri, dan pada saat yang sama ia tetap menjalin hubungan 
dengan Mellors di hutan hingga akhirnya hamil. Namun ia tak takut. Ia memang 
menghendaki anak, dan kehamilannya menjadi alasan untuk meminta cerai dari 
Clifford. Tapi, meski terguncang, Clifford menampik keinginan istrinya dan 
menawarkan solusi yang dianggapnya terbaik, walau bukan seperti yang diinginkan 
Connie.
Seperti yang 
menjadi kontroversi sejak diterbitkan, novel ini memang mengandung banyak 
deskripisi erotis. Lawrence membungkusnya dengan kalimat-kalimat elok. Namun 
tetap saja pembaca akan terbakar oleh deskripsi persetubuhan Connie dan Mellors. 
Mereka bercinta di pondok Mellors, telanjang dan bercinta di tengah hutan di 
bawah naungan hujan, bercinta di bawah pohon, dan lain-lain.
Persetubuhan 
antara Connie dan Mellors bukan hanya sekadar pemuasan nafsu mereka semata, tapi 
sebagai perwujudan kelegaan pribadi-pribadi yang terkungkung. Hubungan mereka 
melahirkan ketenangan sejati bagi Connie. Jadi tujuan seks dalam novel ini lebih 
pada penyembuhan. Walau seks yang mereka lakukan adalah hal yang terlarang, 
Connie dan Mellors seperti terlahir kembali untuk bisa membuka diri dan menapaki 
kehidupan baru.

Karakter-karakter yang dihidupkan oleh Lawrence dalam novel ini sangatlah
menarik. Hampir semua tokoh mentransformasikan dirinya dari pribadi yang rapuh 
menjadi pribadi yang kuat dan melawan. Clifford, Connie, dan Mellors awalnya 
merupakan pribadi-pribadi yang tertutup, tersisih, dan kesepian. Namun berbagai 
peristiwa telah mengubah mereka. Contohnya adalah perlawanan terhadap tradisi 
dan pendobrakan sekat-sekat kelas yang dilakukan secara simbolis oleh 
perselingkuhan Connie dan Mellors.
Selain itu, 
melalui novel ini kita juga dapat menangkap kritik sosial terhadap muramnya 
kehidupan di Inggris setelah perang pada 1920an. Masyarakat terjebak ke dalam 
lapisan-lapisan kelas, industrialisasi mulai merasuk, dan uang menjadi senjata 
ampuh untuk mencapai kekuasaan. Melalui tokoh Clifford, seorang berdarah biru 
dan tuan tanah pemilik tambang, akan terungkap bagaimana sikap para bangsawan 
terhadap para pekerja tambang. Para pekerja, bagi mereka, bukan lagi manusia 
seutuhnya, melainkan hanya alat produksi untuk mengeruk keuntungan bagi usaha 
mereka.
Jadi novel ini 
bukanlah sekadar novel erotis semata seperti yang mungkin selama ini menjadi 
anggapan umum. Ada banyak hal bermakna dalam kisah cinta Lady Chatterly. Michael 
Squares, editor Penguin Books, menulis dalam kata pengantarnya bahwa salah satu 
yang ingin disampaikan oleh Lawrence dalam novel ini adalah upaya menyadarkan 
masyarakat atas dirinya sendiri, mempertanyakan berbagai asumsi yang telah 
mengakar, dan membangkitkan sebuah kejujuran dan keberanian yang menantang. 
Karena itulah tampaknya karya yang telah berusia lebih dari 75 tahun ini masih 
relevan.
Dibanding 
aslinya, edisi terjemahan ini tampak lebih gemuk karena penerbit memasukkan 
berbagai artikel tambahan, baik di awal maupun akhir novel ini. Artike-artikel 
itu berupa catatan untuk edisi Penguin serta kata pengantar dan catatan panjang 
dari penulis sebanyak seratus halaman, juga riwayat panjang Lawrence dan 
apendiks sebanyak 23 halaman. Bagi pembaca awam, mungkin menjadi tak terlalu 
bermanfat karena membaca artikel-artikel itu ternyata melelahkan.
Beberapa 
kesalahan cetak juga ditemui di novel ini. Dari segi terjemahan bisa dibilang 
baik, namun ada satu hal yang tidak konsisten dalam terjemahannya. Di sampul 
belakang novel ini disebutkan Connie berselingkuh dengan penjaga kebun/tukang 
kebun, sementara di seluruh bagian novel ini, profesi Oliver Mellors tidak 
disebut sebagai tukang kebun melainkan penjaga hutan.
Namun usaha 
untuk menerjemahkan novel klasik yang menggugah ini bagaimanapun patut dihargai. 
Jika sebelumnya novel ini hanya dapat dibaca secara terbatas oleh para kalangan 
yang melek sastra dalam bahasa Inggris, kini novel ini dapat terbaca oleh 
kalangan yang lebih luas lagi.

* Hernadi 
Tanzil, Book Blogger & Book Reviewer, Pengelola Situs http://bukuygkubaca .blogspot. com

____________ _________

DATA BUKU

Judul Buku   : Lady Chatterley's Lover

Penulis         : D.H. Lawrence

Pengantar    : Goenawan Mohamad

Penerjemah : Arfan Achyar

Editor           
: Imam Muhtarom

Penerbit       : Alvabet

Ukuran         
: 13 x 20 cm

Cetakan       : I, Desember 2008; II Februari 2009

Tebal            : xii + 
586 halaman

Harga           
: Rp. 99.900,- 

3 comments:

  1. wah nama depanya sama Ari juga
    hehe


    makasih banyak dah berkunjung

    ReplyDelete
  2. hahahah,, baru kebaca sekarang dah komentarnya,, terimakaish kembali sudah berkunjung :)

    ReplyDelete
  3. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete

 

Instagram @pujiariningsih

back 2 right way Template by Ipietoon Cute Blog Design